Artikel yang membahas mengenai kekuasaan
Inilah Sosok Olo Panggabean, Sang Godfather Kota Medan
Sejak
kecil Jason* terlatih membedakan antara fiksi dan kenyataan. Terutama bila
menyangkut cerita seputar Opungnya: Sahara Oloan Panggabean, sosok tokoh
masyarakat paling berpengaruh di Medan, kota ketiga terbesar Indonesia. Sang
opung lebih akrab dipanggil Olo Panggabean.
Kawan
sekelas, tetangga, dan orang awam menyebut opungnya—sebutan kakek dalam bahasa
Batak—adalah godfather. Kenapa? Sebab sang opung adalah pemimpin Ikatan Pemuda
Karya (IPK) yang berpengaruh di Medan dan sekitarnya. Politikus dari berbagai
partai juga menjalin komunikasi dengan pimpinan IPK.
Itu baru
satu versi cerita. Kalau merujuk kabar burung lainnya, Olo adalah kriminal
kelas berat, pengusaha judi, kepala jaringan penagih utang, dan macam-macam
seliweran rumor lainnya. Cerita tadi beredar begitu liar, karena Olo lebih
dikenal karena reputasinya, namun tak banyak orang punya akses mengenal sang
ketua IPK sangat dekat. Jadi bisa kalian bayangkan perasaan Jason mendengar
ragam cerita miring opungnya tersebut.
Ada juga
kawan atau kenalan Jason yang percaya bahwa Olo hanyalah pengusaha sukses.
Lebih dari itu, sang opung dianggap beberapa orang sebagai filantropis yang
sangat sayang keluarga. Nyaris semua keluarga besar Olo Panggabean diajak
tinggal di kediamannya yang mewah dan dikenali banyak orang seantero Kota
Medan, berjuluk Gedung Putih.
Jason ingat merasa senang bisa tinggal dekat Opung. Apalagi Olo sering mengajak keluarganya pelesiran. Jason yakin, biaya pelesiran ini tak sedikit. Soalnya dalam setahun, keluarga besar Olo Panggabean bisa jalan-jalan enam kali ke Malaysia, Singapura, atau Australia.
Jason ingat merasa senang bisa tinggal dekat Opung. Apalagi Olo sering mengajak keluarganya pelesiran. Jason yakin, biaya pelesiran ini tak sedikit. Soalnya dalam setahun, keluarga besar Olo Panggabean bisa jalan-jalan enam kali ke Malaysia, Singapura, atau Australia.
Jason
tumbuh sejak kecil hingga remaja mendengar macam-macam rumor tadi. Dia belajar
tak memasukkannya dalam hati. Tapi ada satu rumor yang mengganjal baginya.
Yakni perkataan beberapa kenalan, kalau Olo adalah lelaki sakti. Berkat
kesaktian itulah Olo didapuk menjadi tokoh pemuda di Medan. Konon tubuh sang
opung kebal bacokan, mau pakai kelewang ataupun katana paling tajam sekalipun.
Khusus untuk satu rumor tadi, Jason akan tertawa keras sekali meresponsnya.
Sebab, sewaktu masih kecil, Jason sempat percaya bila kulit Olo tak akan mempan
digores benda tajam.
"Waktu
kamu sudah dewasa, kami sadar bawah semua bullshit," kata
Jason sambil tertawa. "Dia cuma sangat pintar mengatur strategi dan
dia businessman yang pandai. Dia tidak punya ilmu kebal."
Kenyataannya,
apa yang disangkakan terhadap Olo nyaris semuanya benar—kecuali rumor tentang
badannya yang kebal. Olo memiliki reputasi sebagai preman. Dia dituduh
melakukan pemerasan, menarik uang keamanan, dan menjalankan usaha yang bertumpu
imej seram tersebut.
Olo
adalah sosok orang kuat di Medan selain tokoh macam Anwar Kongo dan Pendi
Keling. Berdasarkan catatan Ian Wilson—peneliti dari Asia Research Centre,
Murdoch University—mereka bertiga dulu sempat sama-sama bergabung di Pemuda
Pancasila. Tapi Olo kemudian keluar, membentuk IPK pada 28 Agustus 1969 bersama
sobatnya Syamsul Samah. Masing-masing tokoh tadi punya wilayah kekuasaan
berbeda.
Dualisme
sosok Olo inilah—sebagai preman yang luwes terjun di dunia politik dan
kemasyarakatan, sambil terus menyandang cap sebagai sosok disegani—yang
membuatnya jadi legenda di antara "tokoh-tokoh pemuda" Indonesia
lain. Penduduk Ibu Kota mungkin rutin mendengar nama besar John Kei atau
Hercules, yang sudah menyerupai mitos. Namun dua nama besar 'tokoh pemuda' di
Jakarta tadi tak menduduki posisi yang sentral dalam konsolidasi kekuasaan Ibu
Kota—sebab masih ada pemerintah pusat di Jakarta. Sementara di kota-kota yang
lebih kecil, preman bisa menajamkan pengaruh dengan lebih bertaji. Sama seperti
Gun Jack di Yogyakarta, Olo Panggabean adalah sosok orang kuat dengan reputasi
bak selebritas, disegani kawan maupun lawan.
Sosok
seperti Olo adalah obyek pengamatan Ian Wilson. Akademisi ini bertahun-tahun mendalami relasi gangster dan politik di Indonesia.
Seperti banyak diketahui, preman berakar dari kata Bahasa Belanda
"vrjiman" (artinya orang bebas). Wilson menjelaskan, kebebasan itu
bukan berarti bukan sekadar leluasa membikin onar atau menjalankan organisasi
kriminal. Bebas pada era kolonial artinya tidak harus menjalani kerja paksa
sebab mereka memiliki modal lain di mata penguasa Belanda. Yakni modal
mengendalikan massa, pengaruh terhadap masyarakat.
"Jadi,
sejak dulu preman selalu berada dalam kontradiksi. Orang yang bebas dari
tekanan norma sosial, tapi juga menjadi pengatur norma bagi masyarakat lainnya.
Karena itu sosok preman akan menjadi alat politik penting bagi rezim yang
berkuasa," kata Wilson.
Medan
pun, dari pengamatan Wilson, merupakan kota menarik karena peran sentral ormas
dalam kehidupan sehari-hari. Di Medan, tokoh seperti Olo terlibat aktif dalam
kancah politik lokal. Ormas yang dikuasai Olo atau Anwar Kongo sudah menyerupai
kelompok paramiliter yang siap memihak partai tertentu. Preman-preman ini akan
bertugas mengorganisir demo, mengumpulkan dukungan bagi tokoh politik tertentu,
hingga mengamankan lokasi kampanye politik.
"Sepengamatan
saya di Medan, banyak sekali sosok yang sekarang berkuasa di parlemen atau
masuk ke struktur partai punya latar belakang dunia preman, terutama yang sifatnya
organisasi kepemudaan," kata Wilson. "Di berbagai budaya, kita kerap
menganggap dunia gangster dan politik tidak sepatutnya bercampur jadi satu.
Namun, hubungan keduanya di Indonesia tidak hitam-putih seperti itu, jauh lebih
rumit, bahkan sudah biasa bila preman mengambil peran aktif dalam
politik."
Tak salah
bila mengasumsikan premanisme gaya 'orang kuat' seperti dijalankan Olo
merupakan wujud khas struktur politik modern Indonesia. Adanya sosok seperti
Olo dan Gun Jack di berbagai kota melatari alasan redaksi VICE Indonesia
tertarik memahami rasanya hidup sebagai anggota keluarga
"orang kuat".
Mari
kembali ke Jason. Jadi, bagaimana dia menjelaskan pengalamannya hidup satu atap
bersama sang opung yang punya reputasi kesohor itu?
Bagi
Jason, hidup bersama sang opung penuh warna. Pernah dirinya dulu berkelahi,
Sang Opung terpaksa membereskan masalah lewat panggilan telepon. Opung masih
mau membantu keluarga terlibat masalah, dengan satu syarat: si anggota keluarga
Panggabean tidak melanggar dosa paling tabu.
“Cuma
masalah narkoba yang [Opung] tidak mau membantu," Jason mengaku. "He
hated that shit. Dia selalu bilang kalau kami terlibat dengan narkoba (kami
harus) 'urus diri sendiri'.”
Sekarang,
Jason tinggal di salah satu rumah lama milik Olo. Bisa kita lihat sisa-sisa
kemegahan khas rumah mewah klasik, dilengkapi anak tangga yang panjang dan
jendela-jendela tinggi berhias kaca indah. Jason bilang banyak orang familiar
dengan bekas rumah sang opung. Pernah suatu ketika, pengemudi ojek mengantar
Jason sampai pagar depan. Si pengemudi sempat melongo memandangi bangunan itu,
seakan tak percaya melihat Jason berani sekali masuk, kemudian nyeletuk, “lho
ini kan dulu rumah Olo Panggabean?!!”
"Setiap
orang tahu siapa Olo, sampai orang Singapura dan Malaysia tahu," ujarnya.
Jason
baru mau diwawancarai soal Olo, setelah saya menjelaskan padanya kalau sudah
tinggal di Sumatra Utara selama 10 tahun terakhir dan telah mengenal reputasi
Olo sejak pertama menginjakkan kaki di sini.
Lantas,
bagaimana Olo bisa begitu legendaris? Seperti apa Olo dalam kehidupan
sehari-harinya? Olo tumbuh besar di Petisah, lingkungan di pusat Kota Medan
yang disebutnya sebagai “ghetto.” Di sanalah, Olo mengasah bakatnya mencari
penghasilan di jalan. Menginjak usia kepala dua, Olo sudah punya penghasilan
yang lumayan dari jasanya mengamakan beragam usaha sekitaran Jalan Sekip.
Nama Olo
naik tingkat dari penguasa jalanan menjadi sosok penting percaturan politik
lokal setelah mendirikan IPK, berdasarkan penelusuran VICE. Lewat IPK, Olo
melakukan penggalangan dana bagi kandidat anggota DPR sembari melakukan
beberapa aksi sosial. Berkat kebiasaan dermawan inilah, Olo, satu dari delapan
bersaudara, jadi anak kesayangan ibunya. Salah satu aksi dermawan Olo yang
paling terkenal adalah saat membiayai ongkos operasi pemisahan bayi kembar siam
Angi-Anjeli di RS Singapura pada 2004.
“Dia suka
menolong siapa saja” katanya. “Dia enggak peduli apakah orang politik atau
penjual sate. Kalau mereka minta bantuan, dia pasti bantu.”
Olo juga
rajin menggelar pesta besar-besaran di rumahnya, mengundang musisi untuk
bermain ke rumahnya dan memborong es krim untuk anak-anak tetangganya. Opung
Jason itu sesekali membantu beberapa musisi lokal Medan menembus kancah musik
nasional dan jadi seleb betulan. Menurut Jason hubungan Olo dan musisi-musisi
serupa dengan relasi Don Corleone dan Johnny Fontane seperti
di film The Godfather.
Jadi, Olo
juga sering naruh penggalan kepala kuda di kasur orang, tanya saya usil.
"Enggak
mungkin lah," ujar Jason sambil tersenyum.
Sepak
terjang Olo tak sekedar aksi sosial dan pesta-pesta. Dia juga pernah dituduh
memiliki bisnis judi gelap oleh media. Klaim tersebut akhir memuncak dalam
sebuah kericuhan yang antara IPK dan pasukan Brimob di jalanan Medan. Bentrokan
ini terjadi pada 1999. Baru enam tahun kemudian polisi bisa menutup sindikat
judi gelap Medan, yang konon dimiliki Olo, setelah Sutanto menjabat sebagai
Kapolri.
Kepada
Jason, saya menceritakan rencana bicara kepada beberapa warga di Medan tentang
Olo. Jason menolak ide saya. Alasannya, narasumber yang saya temui bakal
berpura-pura mengenal dekat Olo atau mereka bakal bilang kalau Olo itu kriminal
besar. Padahal opungnya sosok yang sangat rumit dipahami kalau tidak benar-benar
kenal dekat. Olo mungkin dermawan dan terkenal, tapi yang mengenal sosoknya
luar dalam cuma keluarga dan teman dekat saja. Fotonya sangat jarang diambil
dan dia tak pernah diwawancarai media semasa hidupnya.
Saya
tidak mengindahkan saran Jason. Ketika berada di Kampung Madras, kantung etnis
India dan Cina Kota Medan, saya bertanya ke orang-orang soal sosok Olo buat
bahan liputan tentang kerusahan anti-Cina di banyak wilayah Indonesia pada
1998. Salah satu penduduk setempat, seorang keturunan Tionghoa yang tak mau
disebut namanya atau diambil fotonya karena angkat bicara tentang masa-masa
kelam di akhir orde baru, merasa berutang budi pada Olo. IPK melindungi warga
Tionghoa dari amukan massa sehingga tak terjadi tragedi di Medan.
“Dia
tidak kasih preman kemari," ujar pria dari etnis Cina yang memiliki sebuah
toko di pinggiran Medan. “Dia melindungi kami."
Saya
sampaikan cerita ini langsung ke Jason di pertemuan berikutnya. Jason langsung
mengangguk dan membenarkan keterangan mereka. “Memang enggak mungkin [Opung
membiarkan ada kerusuhan di kampung sana]. Dia melarang orang buat rusuh atau
perkosa di Kampung Keling. Dia tidak peduli, mau Kristen, Islam, Cina. Dia
tidak kasih orang perkosa cewek di daerahnya."
Beberapa
kali dalam sesi wawancara kami, Jason nampak ingin meromantisir kenangannya
akan sang Opung. Wajar saja sih. Jason ingin sang Opung dikenang sebagai
seorang pengusaha dan pelindung warga Medan, bukannya sekadar tokoh pemuda.
Yang
pasti sosok Olo dianggap positif oleh beragam penganut agama dan kelompok etnis
di Sumut. Medan adalah salah satu kota paling majemuk di Indonesia. Sekitar 60
persen penduduk kota ini adalah kaum muslim, sementara 29 persen lainnya
menganut agama Kristen. Medan juga dihuni oleh beragam etnis minoritas termasuk
di antaranya etnis keturunan India dan Cina yang hidup dan bekerja berdampingan
dengan suku Batak, pendatang asal Jawa, dan suku Minangkabau.
Keragaman
juga mendarah daging dalam keluarga Olo. Sang opung adalah penganut Kristen,
kendati demikian Jason dan ayahnya memeluk Islam. Menurut Jason tak ada yang
meributkan soal perbedaan agama dalam keluarga Olo. Malah, mereka bergantian
merayakan hari besar kedua agama.
Olo
meninggal di usia 67 setelah mengidap bermacam komplikasi penyakit, pada 2009.
Segenap warga Medan berduka cita. Ribuan orang datang saat dia dimakamkan.
Jason ingat, karangan bunga yang diterima keluarga Olo berjajar sampai empat
kilometer.
Pertanyaan
terakhir saya, apa yang paling berkesan dari sang opung baginya? Jason diam
sejenak. Setelah selesai memikirkannya, dia mengaku ada satu pesan Olo yang
akan coba dia amalkan sampai kapanpun.
“Dia
selalu bilang kalau kita harus jadi pria sejati," ujarnya.
"Maksud
Opung soal pria sejati bukan tentang perkelahian. Maksudnya, cowok harus
melindungi pacar dan menjaga keluarganya dengan benar. Saya pengin jadi pria
sejati seperti Opung. But it ain’t easy being that dope."
*Nama
narasumber diubah untuk melindungi privasinya dan keluarga
Pendapat : perbanyak relasi untuk memperluas bisnis, dan selalu berbuat baik pada orang sekitar walaupun banyak orang yang memfitnah
Pendapat : perbanyak relasi untuk memperluas bisnis, dan selalu berbuat baik pada orang sekitar walaupun banyak orang yang memfitnah
Komentar
Posting Komentar